My traveling

Traveling sendiri atau traveling solo punya cerita panjang yang tak habis dalam satu hari. Dari munculnya kemauan traveling, kemudian mempertimbangkan destinasi, cerita telah terwujud. Pencarian transportasi, penginapan, dan menghitung tarif berlanjut membayangkan apa yang nantinya akan dijumpai. Atau  pun tak terlintas sama sekali. Sengaja tak membayangkan ataupun mengharapkan apa bahkan supaya semuanya menjadi kejutan. Traveling sendiri tak sedap? Hmm, tak bagi aku.moulindepensol.com

Menuju ke suatu tempat yang tak pernah disinggah mempunyai kegairahan sendiri. Melainkan sekiranya traveling sendiri datang ke daerah yang kita pernah lihat sebelumnya, itu juga punya keunikan lain. Seperti Ubud, orang mungkin telah tak asing lagi, apalagi sekiranya punya sahabat/kerabat/keluarga di sana. Kita tak perlu pusing dan repot memikirkan ini-itu. Bagi aku itu tak mengasyikan apabila mengandalkan mereka. Hakekatnya sih yang membikin mengasyikan atau tak mengasyikan itu berasal dari diri dan bagaimana merasakan perjalanannya. Merasakan seluruh hal-hal yang tidak terduga.hengjiushiji.com

Sekitar 8 atau 9 tahun lalu, aku pergi ke Menado. Aku punya dua sahabat di sana dan keduanya pekerja kantoran. Aku juga tak ada jadwal pelesir ke daerah tamasya di sana. Di kepala aku cuma ada kemauan sendiri . Khusus jauh dari Jakarta. Haha..baishunbxg.com

Di hari pertama, awam sok-sok-an menyendiri lihat sunset. Kebetulan kamar penginapan seketika menghadap pantai. Dari isi kepala yang penuh benang-benang awut-awutan, berubah ringan saat sunset timbul. Apa yang ada di kepala seperti sirna dan karam terkalahkan alam. Ketika itu aku cuma melihat ke langit dan memperdengarkan suara deru ombak. Menyaksikan sunset itu menenangkan dan laut, ombak, awan beserta alam lainnya adalah terapi dari seluruh sakit buat aku.

Esok harinya, aku naik speed boat ke Bunaken dan berkenalan dengan seorang pria yang traveling sendiri. Setibanya di Bunaken, kami khususnya dulu minum kelapa muda dan babak permulaan bahkan diawali. Ketika itu, langit Bunaken belum terik, dialog pertama keluar dari mulutnya. Dialog permulaan yang telah dapat aku terka tetapi masih membendung diri untuk tak memasarkan kesoktahuan. Kemudian, kami naik perahu kayu besar yang kokoh dan terdapat kotak besar transparan di tengahnya, dan   dapat mengamati estetika alam bawah laut Bunaken.

Singkat kisah, kami pindah kapal sebab akan bergerak lebih jauh. Di atas kapal kedua ada sekitar 20 orang. Lalu,  aku dan  pria berinisial WL berkenalan dengan 4 orang pria yang ke daerah ini cuma berharap memfoto saja. O, ya, saat perjalanan ini aku tak tebersit sama sekali untuk memfoto. Handphone saja aku matikan. Jadi harap maklum cuma satu foto di postingan ini.

Hakekatnya dikala itu aku cuma berharap mengamati panorama saja. Bukan sebab malas atau tak dapat berenang. Karena lagi red days. Lagi pula bersama orang-orang baru yang semuanya  lelaki itu tidak membikin berdaya upaya apa bahkan. Seluruh diskusi meluncur  lancar dan asyik. Pun seperti orang yang telah ketahui lama. Tak juga ada perasaan sungkan. Hingga mereka tahu aku kali pertama ke Bunaken, “Elu semestinya turun, Nov. Rugi seandainya nggak. Percaya deh sama kita. “ Dan balasan aku ya itu menstruasi. Dongkolnya mereka tak terima alasan aku dan tanpa dugaan, aku diangkat dan diceburkan ke laut. Memang sialan!

WL yang mulanya tak  ada juga  niat snorkling maupun berenang, alhasil turun juga. Cuma saja sebelum turun, ia lengkapi pelampung dan alat pernafasan (lupa namanya apa..haha), padahal aku tak. berdasarkan estimasi aku, kedalaman kawasan itu sekitar 4 meter. Tahu sendiri dunk, dapat ngap-ngap-an seandainya berada di bawah. Sebagian kali aku turun terus seketika ke atas lagi. Eh, mereka yang di atas pun ketawa. Aku teriak saja, “Oi,  elu pikir gue lumba-lumba?” Mereka ngakakdan seketika melemparkan alat pernafasan.

Kemudian, dikala menyelam, aku benar-benar menikmati kesendirian yang tak sendiri. Alam bawah laut terlalu memesona. Merasakan warna-warni ikan mengonsentrasikan pikiran dan rasa yang seolah-olah berkata, “semua waktu dikala ini cuma kau yang punya.” Rasa hampa, kesepian, kehilangan, ketidakpercayaan diri, kesakitan, dan sahabat-sahabatnya itu, sekejap raib dari ruh. Tidak terlintas pula sahabat-sahabat baru aku itu, WL, malahan keluarga. Cuma ada aku. Di situlah kali pertama aku benar-benar mengetahui “me time”. Kala menjadi egois itu perlu.

Sebelum hingga di hotel, pria-pria itu mengajak aku dan WL, esok hari untuk jalan-jalan ke Danau Tondano. Yang tanpa persetujuan dari kami, mereka telah menjadwalkan daerah tamasya yang kita seharusnya kunjungi bersama selama 2 hari ke depan.

Selama perjalanan, terkuaklah satu per satu persitiwa.

AkhirnyaWL yang sekarang menjadi teman aku itu, mengaku sudah ditinggalkan oleh tunangannya. Tanpa ada perasaan nggak sedap, aku seketika bilang, “Aku kehilangan pacar, profesi, dan belasan tahun hidup aku” sambil mengakak. Tadinya ia sempat kaget, lalu  pun ngikut mengakak. Hahaha..Dan keempat pria sahabat juga  bercerita. Yang satunya cerita bahwa perusahaan tempatnya berprofesi berada di spot  kebangkrutan. Yang kedua baru dua hari bercerai. Yang ketiga semestinya menghadapi pertikaian perusahaan yang dikelola bersama sahabatnya. Yang keempat Hanya senyum-senyum saja. Intinya, kami dari individu-individu yang semuanya lagi bermasalah. Hahaha. Ditemukan oleh semesta di satu daerah. Untuk…

Hari-hari selanjutnya, aku bersua sahabat aku yang tinggal di kota ini. Sebagian hari, setiap paginya dia membawakan makanan Menado, dan sorenya kembali mengunjungi aku. Menyaksikan sunset bersama atau jalan kaki ke pantai (luar hotel) makan pisang goreng plus dabu-dabu. Ada satu hari, aku diajak jalan-jalan mengamati kampungnya. Ada hal baru yang aku lihat.

Seperti, mengamati seekor babi berwarna pink dan ukurannya tidak jauh berbeda dengan sapi yang masih belia. Babi pink yang besar. di Menado tak cuma babi yang besar. Ayam bahkan besar-besar. Kepiting juga berukuran besar, mereka menyebutnya Kepiting Ketan, kudapan manis kering dalam toples juga besar-besar. Yang tidak terlupakan ialah makan Nasi Kuning Menado yang letaknya di pertigaan jalan raya dan senantiasa laku keras. Menyantap Nasi Kuning Menado di daerah lain, rasanya tak sama dengan yang satu ini. Aku bahkan mengunjungi kampung Arab dan menemukan kerabat yang rupanya masih ada relasi darah dengan Oma aku. Beliau menyebutkan hal sama dengan Oma aku seputar Kakek Buyut yang kali pertama mendarat di Indonesia, ialah di pesisir laut Jawa. Yang kemudian hijrah ke Minahasa. Mendengar riwayat, padahal berulang-ulang, konsisten memberikan rasa baru. Dan masih saja tradisi jelek aku: mendengar cerita kemudian serasa melalang buana ke masa lalu, ke masa seorang pria yang berlayar dari Yaman ke Indonesia untuk berdagang.

Bagi aku, Traveling solo ialah seputar menemukan dan ditemukan

Leave a comment